Oghataraṇa Sutta Menyeberangi Banjir

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthīdi Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, satu devatā tertentu, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendekati Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia bersujud kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bagaimanakah, Yang Mulia, Engkau menyeberangi banjir?” [1]

“Dengan tidak berhenti, Teman, dan dengan tidak mendorong, Aku menyeberangi banjir.” [2]

“Tetapi, bagaimanakah, Yang Mulia, bahwa dengan tidak berhenti dan tidak mendorong, Engkau menyeberangi banjir?”

“Ketika Aku diam, Teman, maka Aku tenggelam; tetapi ketika aku mendorong, maka Aku hanyut. Dengan cara inilah, Teman, bahwa dengan tidak berhenti dan tidak mendorong, Aku menyeberangi banjir.” [3]

[Devatā:]

“Setelah sekian lama, akhirnya aku melihat

Seorang Brāhmaṇa yang telah padam sepenuhnya,

Yang dengan tidak berhenti, tidak mendorong,

Telah menyeberangi kemelekatan terhadap dunia ini.” [4]

Ini adalah apa yang dikatakan oleh devatā itu. [5]Sang Guru menyetujui. Kemudian devatā itu berpikir, “Sang Guru setuju denganku,” bersujud kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau di sisi kanannya, lenyap dari sana.

– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
Catatan Kaki

1. ↑Mārisa, “Tuan, Yang Mulia,” istilah yang biasa digunakan oleh para deva untuk menyapa Sang Buddha, para bhikkhu senior (baca, misalnya, 40:10; IV 270, 16), dan anggota komunitas mereka sendiri (11:3; I 218, 34); raja-raja juga menggunakannya untuk menyapa satu sama lain (3:12; I 80, 4). Spk menjelaskannya sebagai istilah dari makna kasih sayang “Seorang yang tanpa penderitaan” (niddukkha), tetapi ini mungkin bentuk India Tengah dari Skt Madrsa.

Kata “banjir” (ogha) digunakan secara metafora, tetapi di sini dengan penekanan tambahan secara teknis, untuk menunjuk kelompok ajaran empat banjir (baca 45:171), lebih dikenal, menurut Spk, “Karena mereka terus-menerus tenggelam dalam lingkaran kehidupan dan tidak membiarkan mereka naik ke tingkat yang lebih tinggi dan ke Nibbāna.” Empat ini (definisi dari Spk) adalah: (i) banjir indriawi (kāmogha) = keinginan dan nafsu terhadap lima kenikmatan indria (bentuk-bentuk menyenangkan, suara-suara, dan seterusnya—baca 45:176); (ii) banjir kehidupan (bhavogha) = keinginan dan nafsu terhadap alam kehidupan berbentuk dan alam kehidupan tanpa-bentuk dan kemelekatan pada jhāna; (iii) banjir pandangan-pandangan (diṭṭhogha) = enam puluh dua pandangan (DN I 12-38); dan (iv) banjir kebodohan (avijjogha) = kurangnya pengetahuan sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia. Banjir perumpamaan juga digunakan pada vv. 298-300, 511-13, dan 848-49.

2. ↑Appatiṭṭhaṃ khvāhaṃ āvuso anāyūhaṃ ogham atariṃ. Spk: Jawaban Sang Buddha dimaksudkan secara paradoks, bagi orang yang biasanya menyeberang dengan berhenti di tempat dan memanfaatkan pijakan kaki dan yang mendorong untuk menyeberang.

Spk mengemas appatiṭhaṃ hanya dengan appatiṭhahanto (suatu bentuk alternatif dari suatu kejadian yang sedang berlangsung), namun Spk-pṭ menjelaskan: “tidak-berhenti: tidak berdiri diam sehubungan dengan kekotoran dan seterusnya; maknanya adalah ‘tidak tenggelam’ (appatiṭhahanto ti kilesādinaṃ vasena asantiṭṭhanto, asaṃsīdanto ti attho).” Kata kerja patitiṭṭhhati biasanya berarti “kokoh”, yaitu melekat, pada dasarnya berhubungan dengan keinginan dan kekotoran lainnya: baca di bawah v. 46 dan n. 35. Kesadaran yang dipengaruhi oleh keinginan adalah “kokoh” (baca 12:38-40, 12:64, 22:53-54), dan ketika keinginan dilenyapkan, maka menjadi “tidak kokoh, tanpa penopang.” Para Arahanta selesai “dengan kesadaran tidak kokoh” (appatiṭṭhitena viññāṇena … parinibbuto; baca 4:23 (I 122,12-13)). Segala nuansa perbedaan tipis ini terkandung dalam jawaban Sang Buddha.

Kata kerja āyūhati jarang terdapat dalam Nikāya, tetapi baca di bawah v. 263df, v. 264d, dan Sn 210d. Sebuah bentuk yang lebih padat dari ūhati (ditambah dengan ā- dan -y- sebagai penghubung); kata kerja sederhana ini muncul pada MN I 116,13-14, di mana dapat diterjemahkan “dipaksakan”. Kemunculan di sana bersesuaian dengan konteks sekarang ini: pikiran yang tegang dipaksakan adalah jauh dari konsentrasi. Dalam literatur belakangan, bentuk kata benda āyūhana memperoleh makna teknis “akumulasi” yang secara khusus merujuk pada kamma; dalam formula kemunculan bergantungan (paṭiccasamuppāda), bentukan kehendak (saṅkhārā) dikatakan memiliki fungsi āyūhana; baca Paṭis I 52, 14, 26; Vism 528, 12 (Ppn 17:51), 579, 31-580, 4 (Ppn 17:292-93).

Spk: Sang Bhagavā dengan sengaja memberikan jawaban kabur kepada deva untuk merendahkan hatinya, karena ia kaku oleh kesombongan menganggap dirinya bijaksana. Menyadari bahwa deva itu tidak akan mampu menembus ajaran jika ia tidak mengubah sikapnya terlebih dulu, Sang Buddha bermaksud untuk membuatnya bingung dan karenanya dapat mengekang keangkuhannya. Pada saat itu, dengan rendah hati, deva itu akan memohon penjelasan dan Sang Buddha akan menjelaskan dengan cara-cara yang dapat ia pahami.

3. ↑Penjelasan singkat Sang Buddha merujuk pada Jalan Tengah (majjhimā paṭipadā) dalam pengertian yang paling komprehensif, baik secara praktis maupun filosofis. Untuk menjelaskan implikasi ini, Spk menguraikan tujuh pasangan: (i) “Berhenti” karena kekotoran, seseorang tenggelam; “memaksakan” karena bentukan-bentukan kehendak, seseorang terhanyut; (ii) karena keinginan dan pandangan-pandangan, seseorang tenggelam; karena kekotoran-kekotoran lainnya, seseorang terhanyut; (iii) karena keinginan, seseorang tenggelam; karena pandangan-pandangan, seseorang terhanyut; (iv) karena pandangan eternalis, seseorang tenggelam; karena pandangan nihilis, seseorang terhanyut. (baca It 43, 12-44,4); (v) karena kekenduran, seseorang tenggelam; karena kegelisahan, seseorang terhanyut; (vi) karena melakukan praktik pemuasan kenikmatan-indria, seseorang tenggelam; karena melakukan praktik penyiksaan diri, seseorang terhanyut; (vii) karena segala bentukan kehendak yang tidak bermanfaat, seseorang tenggelam; karena segala bentukan kehendak duniawi, seseorang terhanyut. Ñāṇananda menyarankan agar menghubungkan prinsip “Tidak berhenti, tidak mendorong” dengan masing-masing dari empat banjir: baca SN-Anth 2:56-58.

4. ↑Spk: Sang Buddha disebut seorang brāhmaṇa dalam pengertian Arahanta (baca Dhp 388, 396-423). Beliau telah padam sepenuhnya (parinibbuto) dalam hal bahwa Beliau telah padam melalui pemadaman kekotoran-kekotoran (kilesanibbānena nibbutaṃ). Keinginan adalah tandakemelekatan(vissattikā) karena ia melekat dan menempel pada berbagai objek indria.

5. ↑Spk: Ketika deva itu mendengar jawaban Sang Buddha, ia mencapai Buah Memasuki-Arus.