MENGAPA HARUS SERAKAH

“-Mengapa harus serakah?-”

Sering kali kita berbuat serakah., tapi mengapa kita harus serakah?? Serakahpun tak baik untuk kehidupan kita. ada cerita cukup menarik, ada seorang pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit untuk menangkap monyet. Toples itu diisi kacang yang telah diberi aroma. Tujuannya,agar mengundang monyet-monyet datang. Setelah diisi kacang, toples-toples itu ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples dibiarkan tanpa tutup.

Para pemburu melakukannya di sore hari. Besoknya, mereka tingal meringkus monyet-monyet yang tangannya terjebak di dalam botol tak bisa dikeluarkan.

Kok, bisa ? Tentu kita sudah tahu jawabnya.

Monyet-monyet itu tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples. Mereka mengamati lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang-kacang yang ada di dalam. Tapi karena menggenggam kacang,

monyet-monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya Selama mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula mereka terjebak. Toples itu terlalu berat untuk diangkat. Jadi, monyet-monyet itu tidak akan dapat pergi ke mana-mana !

Mungkin kita akan tertawa melihat tingkah bodoh monyet itu. Tapi, tanpa sadar sebenamya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri. Kita mengenggam erat setiap permasalahan yang kita miliki layaknya monyet mengenggam kacang.

Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf, tak mudah melepaskan maaf. Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada di dalam dada. Kita tak pernah bisa melepasnya.

Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa “toples-toples”itu ke mana pun kita pergi. Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan.

Sebenarnya kita akan selamat dari penyakit hati jika sebelum tidur kita mau melepas semua “rasa tidak

enak” terhadap siapapun yang berinteraksi dengan kita. Dengan begitu kita akan mendapati hari esok begitu cerah dan menghadapinya dengan senyum. Dan, kita pun tahu bahwa kebahagiaan itu diperuntukkan bagi orang-orang yang hatinya bersih.

Dengan cerita tersebut, kita pun dapat melihat bahwa serakah itu tak ada manfaatnya dan bahkan dapat mencelakakan kita., maka itu SADARLAH

Filosofis Alam.(Hindu)

Sesungguhnya kita semua adalah gelombang ombak yang berbeda di samudera yang sama. Dalam kedalaman keheningan, disana kita akan menyadari sebagai pengalaman langsung bahwa diri kita dan semua mahluk adalah laksana gelombang-gelombang ombak yang berbeda-beda di samudera yang sama.

Di permukaan samudera, gelombang ombak banyak sekali memiliki identitas dan perbedaan. Ada gelombang yang besar, ada yang kecil, ada yang panjang, ada yang pendek, ada yang berbuih, dsb-nya, banyak sekali perbedaannya. Tapi di kedalaman samudera semua sekat-sekat perbedaan, nama dan identitas lenyap. Yang ada hanya samudera luas tidak terbatas. Dalam kedalaman keheningan kita tersadarkan bahwa kenyataan sejati kita adalah samudera. Inilah yang dimaksud dengan penyatuan kosmik antara Atman dengan Brahman.

Sehingga jika ada orang yang menyakiti kita, jika ada orang yang melakukan kesalahan, jika ada hal yang terlihat berbeda antara diri kita dengan orang lain, selalu ingat bahwa semua itu hanya sementara saja dan bukan merupakan kenyataan kosmik yang kekal. Sadari akan samudera yang menjadi kenyataan sejati semua mahluk. Sebagaimana mahavakya “tat twam asi” yang tertulis dalam kitab suci Upanishad.

Dengan kesadaran seperti itu, kita akan dapat lebih sedikit menyakiti orang lain, sekaligus dapat lebih banyak melakukan kebaikan-kebaikan.

Dumogi stata shanti lan rahayu sareng sami…

Petuah-Petuah Konghuchu

Kongtongcu bertanya, “Semuanya ialah manusia, mengapakah ada yang menjadi orang besar dan ada yang menjadi orang kecil?”

Bingcu menjawab, “Orang yang menurutkan bagian dirinya yang besar akan menjadi orang besar, yang hanya menurutkan bagian dirinya yang kecil akan menjadi orang kecil.”

(Bingcu, VIA, 15)

Karena itulah sukses dalam hidup seorang Confusianis ditentukan oleh dirinya sendiri.

Sesungguhnya untuk memperolah Kegemilangan itu hanya tergantung pada usaha orang itu sendiri.

(Thai Hak / Ajaran Besar, I, 4)

Dengan demikian, tempatilah diri kita untuk menjadi orang yang sukses.

2. “Ada sebuah nyanyian anak-anak yang berbunyi, ‘Sungai Chong-long di kala jernih, boleh untuk mencuci tali topiku. Sungai Chong-long di kala keruh, boleh untuk mencuci kakiku.”

3. “Khongcu bersabda: Murid-muridKu, dengarlah! Di kala jernih untuk mencuci tali topi, di kala keruh untuk mencuci kaki. Perbedaan ini, air itu sendiri membuatnya.’

(Bingcu, IVA, 8, 2-3)

Langkah-langkah Menuju Sukses

Langkah-langkah menuju sukses dapat kita lihat dari nasehat-nasehat yang diberikan oleh Guru kita, baik selama hidupNya maupun melalui penerus ajaranNya, Bingcu:

1. Membina diri

“Maka seorang Kuncu tidak boleh tidak membina diri; bila berhasrat membina diri, …..”

(Tiong Yong / Tengah Sempurna, XIX, 7)

a. Belajar

Nabi bersabda, “Suka belajar itu mendekatkan kita kepada Kebijaksanaan;……”

(Tiong Yong / Tengah Sempurna, XIX, 10)

b. Berusaha memiliki kecakapan / ketrampilan

Nabi bersabda, “….., berkhawatirlah kalau tidak mempunyai kecakapan untuk suatu

kedudukan; ,,,,,, tetapi berusahalah agar mempunyai kecakapan yang patut diketahui.”

(Lun Gi / Sabda Suci, IV, 14)

2. Mempunyai rencana / target

“Di dalam tiap perkara bila ada rencana yang pasti, niscaya dapat berhasil; bila tanpa rencana yang pasti, niscaya gagal. …..”.

(Tiong Yong / Tengah Sempurna, XIX, 16)

3. Mempersiapkan diri

Nabi bersabda, “Bila orang tidak mau berpikir tentang kemungkinan yang masih jauh, kesusahan itu tentu sudah berada di dekatnya.”

(Lun Gi / Sabda Suci, XV, 12)

4. Memulai dari awal setahap demi setahap

Jalan Suci seorang Kuncu itu seumpama pergi ke tempat jauh, harus dimulai dari dekat; seumpama mendaki ke tempat tinggi, harus dimulai dari bawah.

(Tiong Yong / Tengah Sempurna, XIV, 1)

5. Konsisten

Bingcu berkata kepada Koocu, “Lihatlah jalan kecil bekas diinjak orang di pegunungan, kalau selalu dilalui akan dapat menjadi jalan besar, tetapi, kalau tidak terus dilalui akan kembali tertutup oleh alang-alang. …..”

(Bingcu, VIIB, 21)

6. Mendahulukan kewajiban

Nabi bersabda, “Sungguh pertanyaan yang baik, Mendahulukan pengabdian dan membelakangi hasil; bukankah ini sikap yang menjunjung Kebajikan? …..”

(Lun Gi / Sabda Suci, XII, 21, 2)

7. Memanfaatkan setiap peluang

Cu-khong bertanya, “Kalau seseorang mempunyai sebuah batu giok yang indah, sebaiknya disimpan di dalam almari saja atau lebih baik dijual?”

2. Nabi menjawab, “Dijual! Dijual! Tetapi nantikanlah harga yang layak.”

(Lun Gi / Sabda Suci, IX, 13, 1-2)

8. Berhemat dan rajin

Mengurus hartapun ada jalannya yang besar, bila penghasilan lebih besar daripada pemakaian dan bekerja setangkas mungkin sambil berhemat, niscaya harta benda itu akan terpelihara.

(Thai Hak / Ajaran Besar, X, 19)

9. Berserah kepada Tian (Tuhan)

….. Akan hasilnya berserah kepada Tuhan. ……”

(Bingcu, IB, 14, 3)

Menghadapi Hambatan-hambatan

Kehidupan serba tidak pasti, hanya kematian yang pasti akan datang. Demikian juga dengan jalan hidup dan jalan kesuksesan kita pasti akan mengalami hambatan-hambatan. Untuk menghadapinya agar kita tidak putus asa di bawah ini adalah kiat-kiat yang harus kita jalani:

1. Menyadari bahwa setiap orang pasti mengalami hambatan-hambatan dalam hidupnya

Tatkala Gan Yan meninggal dunia, Nabi menangis sangat sedih.

(Lun Gi / Sabda Suci, XI,10, 1)

2. Jangan mudah menyerah

Bingcu berkata, “Usaha seseorang itu dapat diumpamakan seperti orang membuat sumur. Meski sumur itu sudah digali sampai 9 depa, kalau belum juga mencapai sumbernya, pekerjaan itu sia-sia belaka.”

(Bingcu, VIIA, 29)

3. Melihat ke dalam diri sendiri

Nabi bersabda, ” Hal memanah itu seperti sikap seorang Kuncu. Bila memanahnya meleset dari bulan-bulannya, si pemanah berbalik mencari sebab-sebab kegagalannya di dalam diri sendiri.

(Tiong Yong / Tengah Sempurna, XIII – 5)

4. Memperbaiki diri sendiri

“Bila bersalah, janganlah takut memperbaiki.”

(Lun Gi / Sabda Suci, I, 8, 4)

5. Memperbaharui diri

….., “Bila suatu hari dapat memperbaharui diri, perbaharuilah terus tiap hari dan jagalah agar baharu selama-lamanya!”

(Thai Hak / Ajaran Besar, II, 1)

6. Yakin dan percaya Tian memberkati

“Demikianlah Tuhan Yang Maha Esa menjadikan segenap wujud, masing-masing dibantu sesuai dengan sifatnya. Kepada pohon yang bersemi dibantu tumbuh, sementara kepada yang condong dibantu roboh.”

(Tiong Yong / Tengah Sempurna, XVI, 3)

Ketika Berada Dalam Kesuksesan

Seringkali ketika berada dalam kesuksesan seseorang kehilangan jati dirinya, untuk menghindarinya, bentengilah diri kita dengan kata-kata bijak Guru kita:

1. Ingatlah bahwa kebajikan di atas segalanya

Kebajikan itulah yang pokok dan kekayaan itulah yang ujung.

(Thai Hak / Ajaran Besar, X, 7)

2. Tidak berlaku sombong

Nabi bersabda,” Miskin tanpa menggerutu itu sukar. Kaya tanpa merasa sombong itu mudah.”

(Lun Gi / Sabda Suci, XIV, 10)

3. Menjaga diri agar tetap di jalan yang benar

Di kala kaya dan mulia, ia berbuat sebagai layaknya seorang kaya dan mulia; ….. Maka seorang Kuncu di dalam keadaan bagaimanapun, selalu berhasil menjaga dirinya.

(Tiong Yong / Tengah Sempurna, XIII, 2)

4. Ingat akan pendukung & membantu orang lain

“Seorang yang berperi Cinta Kasih ingin dapat tegak, maka berusaha agar orang lainpun tegak; ia ingin maju, maka berusaha agar orang lainpun maju”.

(Lun Gi / Sabda Suci VI, 30 – 3)

5. Merawat

“Maka kalau dirawat baik-baik tiada barang yang tidak akan berkembang, sebaliknya kalau tidak dirawat baik-baik tiada barang yang tidak akan rusak.”.

(Bingcu ,VIA, 8, 3)

Nandati Sutta Kegembiraan.(Buddhis)

Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:

“Ia yang memiliki anak, gembira karena anak-anaknya,

Ia yang memiliki sapi, gembira karena sapinya,

Perolehan, sungguh adalah kegembiraan manusia;

Tanpa perolehan maka seseorang tidak bergembira.” [1]

[Sang Bhagavā:]

“Ia yang memiliki anak, bersedih karena anaknya,

Ia yang memiliki sapi, bersedih karena sapinya.

Perolehan, sungguh adalah kesedihan manusia;

Tanpa perolehan maka seseorang tidak bersedih.”

Arañña Sutta Hutan.(Buddhis)

Di Sāvatthī. Sambil berdiri di satu sisi, devatā itu mengucapkan syair ini di hadapan Sang Bhagavā:
“Mereka yang berdiam jauh di dalam hutan,
Damai, menjalani hidup suci,
Makan hanya satu kali sehari:
Mengapakah kulit mereka begitu cerah?” [1]
[Sang Bhagavā:]
“Mereka tidak meratapi masa lampau,
Juga tidak merindukan masa depan.
Mereka mempertahankan diri mereka dengan apa yang ada sekarang:
Karena itu, kulit mereka begitu cerah.
“Dengan merindukan masa depan,
Dengan meratapi masa lampau,
Si dungu mengering dan layu
Bagaikan sebatang buluh hijau yang ditebang.”

Oghataraṇa Sutta Menyeberangi Banjir

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthīdi Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, pada larut malam, satu devatā tertentu, dengan keindahan memesona, menerangi seluruh Hutan Jeta, mendekati Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia bersujud kepada Sang Bhagavā, berdiri di satu sisi, dan berkata kepada Beliau:

“Bagaimanakah, Yang Mulia, Engkau menyeberangi banjir?” [1]

“Dengan tidak berhenti, Teman, dan dengan tidak mendorong, Aku menyeberangi banjir.” [2]

“Tetapi, bagaimanakah, Yang Mulia, bahwa dengan tidak berhenti dan tidak mendorong, Engkau menyeberangi banjir?”

“Ketika Aku diam, Teman, maka Aku tenggelam; tetapi ketika aku mendorong, maka Aku hanyut. Dengan cara inilah, Teman, bahwa dengan tidak berhenti dan tidak mendorong, Aku menyeberangi banjir.” [3]

[Devatā:]

“Setelah sekian lama, akhirnya aku melihat

Seorang Brāhmaṇa yang telah padam sepenuhnya,

Yang dengan tidak berhenti, tidak mendorong,

Telah menyeberangi kemelekatan terhadap dunia ini.” [4]

Ini adalah apa yang dikatakan oleh devatā itu. [5]Sang Guru menyetujui. Kemudian devatā itu berpikir, “Sang Guru setuju denganku,” bersujud kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau di sisi kanannya, lenyap dari sana.

– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
Catatan Kaki

1. ↑Mārisa, “Tuan, Yang Mulia,” istilah yang biasa digunakan oleh para deva untuk menyapa Sang Buddha, para bhikkhu senior (baca, misalnya, 40:10; IV 270, 16), dan anggota komunitas mereka sendiri (11:3; I 218, 34); raja-raja juga menggunakannya untuk menyapa satu sama lain (3:12; I 80, 4). Spk menjelaskannya sebagai istilah dari makna kasih sayang “Seorang yang tanpa penderitaan” (niddukkha), tetapi ini mungkin bentuk India Tengah dari Skt Madrsa.

Kata “banjir” (ogha) digunakan secara metafora, tetapi di sini dengan penekanan tambahan secara teknis, untuk menunjuk kelompok ajaran empat banjir (baca 45:171), lebih dikenal, menurut Spk, “Karena mereka terus-menerus tenggelam dalam lingkaran kehidupan dan tidak membiarkan mereka naik ke tingkat yang lebih tinggi dan ke Nibbāna.” Empat ini (definisi dari Spk) adalah: (i) banjir indriawi (kāmogha) = keinginan dan nafsu terhadap lima kenikmatan indria (bentuk-bentuk menyenangkan, suara-suara, dan seterusnya—baca 45:176); (ii) banjir kehidupan (bhavogha) = keinginan dan nafsu terhadap alam kehidupan berbentuk dan alam kehidupan tanpa-bentuk dan kemelekatan pada jhāna; (iii) banjir pandangan-pandangan (diṭṭhogha) = enam puluh dua pandangan (DN I 12-38); dan (iv) banjir kebodohan (avijjogha) = kurangnya pengetahuan sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia. Banjir perumpamaan juga digunakan pada vv. 298-300, 511-13, dan 848-49.

2. ↑Appatiṭṭhaṃ khvāhaṃ āvuso anāyūhaṃ ogham atariṃ. Spk: Jawaban Sang Buddha dimaksudkan secara paradoks, bagi orang yang biasanya menyeberang dengan berhenti di tempat dan memanfaatkan pijakan kaki dan yang mendorong untuk menyeberang.

Spk mengemas appatiṭhaṃ hanya dengan appatiṭhahanto (suatu bentuk alternatif dari suatu kejadian yang sedang berlangsung), namun Spk-pṭ menjelaskan: “tidak-berhenti: tidak berdiri diam sehubungan dengan kekotoran dan seterusnya; maknanya adalah ‘tidak tenggelam’ (appatiṭhahanto ti kilesādinaṃ vasena asantiṭṭhanto, asaṃsīdanto ti attho).” Kata kerja patitiṭṭhhati biasanya berarti “kokoh”, yaitu melekat, pada dasarnya berhubungan dengan keinginan dan kekotoran lainnya: baca di bawah v. 46 dan n. 35. Kesadaran yang dipengaruhi oleh keinginan adalah “kokoh” (baca 12:38-40, 12:64, 22:53-54), dan ketika keinginan dilenyapkan, maka menjadi “tidak kokoh, tanpa penopang.” Para Arahanta selesai “dengan kesadaran tidak kokoh” (appatiṭṭhitena viññāṇena … parinibbuto; baca 4:23 (I 122,12-13)). Segala nuansa perbedaan tipis ini terkandung dalam jawaban Sang Buddha.

Kata kerja āyūhati jarang terdapat dalam Nikāya, tetapi baca di bawah v. 263df, v. 264d, dan Sn 210d. Sebuah bentuk yang lebih padat dari ūhati (ditambah dengan ā- dan -y- sebagai penghubung); kata kerja sederhana ini muncul pada MN I 116,13-14, di mana dapat diterjemahkan “dipaksakan”. Kemunculan di sana bersesuaian dengan konteks sekarang ini: pikiran yang tegang dipaksakan adalah jauh dari konsentrasi. Dalam literatur belakangan, bentuk kata benda āyūhana memperoleh makna teknis “akumulasi” yang secara khusus merujuk pada kamma; dalam formula kemunculan bergantungan (paṭiccasamuppāda), bentukan kehendak (saṅkhārā) dikatakan memiliki fungsi āyūhana; baca Paṭis I 52, 14, 26; Vism 528, 12 (Ppn 17:51), 579, 31-580, 4 (Ppn 17:292-93).

Spk: Sang Bhagavā dengan sengaja memberikan jawaban kabur kepada deva untuk merendahkan hatinya, karena ia kaku oleh kesombongan menganggap dirinya bijaksana. Menyadari bahwa deva itu tidak akan mampu menembus ajaran jika ia tidak mengubah sikapnya terlebih dulu, Sang Buddha bermaksud untuk membuatnya bingung dan karenanya dapat mengekang keangkuhannya. Pada saat itu, dengan rendah hati, deva itu akan memohon penjelasan dan Sang Buddha akan menjelaskan dengan cara-cara yang dapat ia pahami.

3. ↑Penjelasan singkat Sang Buddha merujuk pada Jalan Tengah (majjhimā paṭipadā) dalam pengertian yang paling komprehensif, baik secara praktis maupun filosofis. Untuk menjelaskan implikasi ini, Spk menguraikan tujuh pasangan: (i) “Berhenti” karena kekotoran, seseorang tenggelam; “memaksakan” karena bentukan-bentukan kehendak, seseorang terhanyut; (ii) karena keinginan dan pandangan-pandangan, seseorang tenggelam; karena kekotoran-kekotoran lainnya, seseorang terhanyut; (iii) karena keinginan, seseorang tenggelam; karena pandangan-pandangan, seseorang terhanyut; (iv) karena pandangan eternalis, seseorang tenggelam; karena pandangan nihilis, seseorang terhanyut. (baca It 43, 12-44,4); (v) karena kekenduran, seseorang tenggelam; karena kegelisahan, seseorang terhanyut; (vi) karena melakukan praktik pemuasan kenikmatan-indria, seseorang tenggelam; karena melakukan praktik penyiksaan diri, seseorang terhanyut; (vii) karena segala bentukan kehendak yang tidak bermanfaat, seseorang tenggelam; karena segala bentukan kehendak duniawi, seseorang terhanyut. Ñāṇananda menyarankan agar menghubungkan prinsip “Tidak berhenti, tidak mendorong” dengan masing-masing dari empat banjir: baca SN-Anth 2:56-58.

4. ↑Spk: Sang Buddha disebut seorang brāhmaṇa dalam pengertian Arahanta (baca Dhp 388, 396-423). Beliau telah padam sepenuhnya (parinibbuto) dalam hal bahwa Beliau telah padam melalui pemadaman kekotoran-kekotoran (kilesanibbānena nibbutaṃ). Keinginan adalah tandakemelekatan(vissattikā) karena ia melekat dan menempel pada berbagai objek indria.

5. ↑Spk: Ketika deva itu mendengar jawaban Sang Buddha, ia mencapai Buah Memasuki-Arus.

Hukum 12 Musabab Oleh Buddhis

Hukum Dua Belas Musabab Yang Saling Bergantungan(Pratityasamutpada) :
-Ketidaktahuan menimbulkan bentukan Kehendak;
-Bentukan Kehendak menimbulkan Kesadaran;
-Kesadaran menimbulkan Nama_dan_Rupa (individualitas);
-Nama_dan_Rupa menimbulkan Enam Landasan lndria;
-Enam Landasan lndria menimbulkan Singgungan;
-Singgungan menimbulkan Perasaan;
-Perasaan menimbulkan Nafsu Keinginan;
-Nafsu keinginan menimbulkan Kemelekatan;
-Kemelekatan menimbulkan Kelangsungan Hidup;
-Kelangsungan Hidup menimbulkan Kelahiran;
-Kelahiran menimbulkan Penuaan dan Kematian.
Kedua Belas Musabab Yang Saling Bergantungan ini, apabila dipaparkan dalam urutan berbalik, mungkin bisa terbaca dengan jauh lebih jelas.
Dengan demikian:
-Penuaan dan Kematian disebabkan oleh Kelahiran, karena tanpa kelahiran,tak akan pernah ada kematian. Pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana kelahiran ini timbul?”
-Kelahiran ditimbulkan oleh Kelangsungan Hidup,selanjutnya;
-Kelangsungan Hidup ditimbulkan oleh Kemelekatan;
-Kemelekatan ditimbulkan oleh Nafsu Keinginan;
-Nafsu Keinginan ditimbulkan oleh Perasaan atau Sensasi.
-Perasaan ditimbulkan oleh Singgungan.
-Singgungan ditimbulkan oleh kontak melalui Enam Landasan Indria atau Enam Indria.
-Enam Indria ditimbulkan oleh Nama dan Rupa, atau Batin dan Jasmani (tubuh).
-Nama dan Rupa ditimbulkan oleh Bentukan Kehendak atau Karma.
-Bentukan Kehendak ditimbulkan oleh Ketidaktahuan
Karena itulah, Ketidaktahuan merupakan Mata Rantai Utama dalam rantai tersebut, sumber munculnya derita dan penderitaan kita.
Begitu Ketidaktahuan dihancurkan dengan memperoleh Kebijaksanaan dan Pandangan Cerah,maka keseluruhan Musabab Yang Saling Bergantungan ini akan runtuh.
Buddha dan Bodhisatwa
(Oleh: Kuan Ming).

Petuah BUDDHA/NYALA API

Nyala Api di Malam Hari

Pada suatu malam di Hutan Jeta, Savatthi, Buddha sedang duduk bersama murid-muridnya di udara terbuka dengan diterangi lampu minyak. Buddha memperhatikan bahwa banyak serangga yang terbang menuju lampu minyak dan mati kena api lampu tersebut.

Buddha lalu berkata: “Serangga-serangga melihat nyala api, mereka keliru karena menganggap nyala api itu menawarkan kehidupan dan kebahagiaan; tetapi sesungguhnya hal itu mendatangkan kesengsaraan dan kematian. Dengan cara yang sama, manusia melihat terangnya nyala api; nyala api kekayaan; nyala api kekuasaan; nyala api kehormatan dan ketenaran. Mereka bergegas menuju nyala api tersebut, menganggap bahwa mereka menuju kehidupan dan kebahagiaan, ternyata mereka membawa kesengsaraan dan kematian.

Oleh karena itu berhati-hatilahdengan apa yang Anda lihat dan dengar dari luar diri Anda, lihatlah dengan sesungguhnya dan berpalinglah kepada batin Anda sendiri agar tidak terbakar oleh api nafsu, api keserakahan, dan api kesengsaraan lainnya.”

Semoga semua mahkluk berbahagia

===

Aggivacchagotta Sutta(Tentang Api)

1.DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2.Kemudian pengembara Vacchagotta mendatangi Sang Bhagavā[484]dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Sang Bhagavā:

3.“Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

4.“Kalau begitu bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

5.“Kalau begitu bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

6.“Kalau begitu bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

7.“Kalau begitu bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Jiwa dan badan adalah sama: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?” 1

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Jiwa dan badan adalah sama: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

8.“Kalau begitu bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

9.“Kalau begitu bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?” 2

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

10.“Kalau begitu bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

11.“Kalau begitu bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”[485]

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

12.“Kalau begitu bagaimanakah, Guru Gotama, apakah Guru Gotama menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah’?”

“Vaccha, Aku tidak menganut pandangan: ‘Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian: hanya ini yang benar, yang lainnya salah.’”

13.“Kalau begitu bagaimanakah, Guru Gotama? Ketika Guru Gotama ditanya masing-masing dari sepuluh pertanyaan ini, Beliau menjawab: ‘Aku tidak menganut pandangan itu.’ Bahaya apakah yang Guru Gotama lihat sehingga Beliau tidak menganut pandangan-pandangan spekulatif ini?”

14.“Vaccha, pandangan spekulatif bahwa dunia adalah abadi adalah belukar pandangan, belantara pandangan, distorsi pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Pandangan ini diserang oleh penderitaan, oleh kesusahan, oleh keputus-asaan, dan oleh demam, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

“Pandangan spekulatif bahwa dunia adalah tidak abadi … bahwa dunia adalah terbatas … bahwa dunia adalah tidak terbatas … bahwa jiwa dan badan adalah sama … bahwa jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya … bahwa Sang Tathāgata ada setelah kematian[486]… bahwa Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian … bahwa Sang Tathāgata ada dan juga tidak ada setelah kematian … bahwa Sang Tathāgata bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian adalah belukar pandangan, belantara pandangan, distorsi pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Pandangan ini diserang oleh penderitaan, oleh kesusahan, oleh keputus-asaan, dan oleh demam, dan tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Melihat bahaya ini, Aku tidak menganut pandangan-pandangan ini.”

15.“Kalau begitu apakah Guru Gotama menganut suatu pandangan spekulatif tertentu?”

“Vaccha, ‘pandangan spekulatif’ adalah sesuatu yang telah disingkirkan oleh Sang Tathāgata. Karena Sang Tathāgata, Vaccha, telah melihat 3ini: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya.’ Oleh karena itu, Aku katakan, dengan hancurnya, meluruhnya, berhentinya, ditinggalkannya, dan dilepaskannya segala anggapan, segala pemikiran, segala pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan, Sang Tathāgata terbebaskan melalui ketidak-melekatan.”

16.“Ketika seorang bhikkhu terbebaskan demikian, Guru Gotama, di manakah ia muncul kembali [setelah kematian]?”

“Istilah ‘muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.” 4

“Jadi apakah ia tidak muncul kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi apakah ia muncul kembali dan juga tidak muncul kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘muncul kembali dan juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

“Jadi apakah ia bukan muncul kembali dan juga bukan tidak muncul kembali, Guru Gotama?”

“Istilah ‘bukan muncul kembali dan juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku, Vaccha.”

17.“Ketika Guru Gotama ditanya empat pertanyaan ini, Beliau menjawab: ‘Istilah “muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha; istilah “tidak muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha; istilah “muncul kembali dan juga tidak muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha; Istilah “bukan muncul kembali dan juga bukan[487]tidak muncul kembali” tidak berlaku, Vaccha.’ Di sini aku menjadi bingung, Guru Gotama, di sini aku menjadi bimbang, dan keyakinan yang telah kuperoleh melalui perbincangan sebelumnya dengan Guru Gotama sekarang telah lenyap.”

18.“Ini memang cukup membuatmu bingung, Vaccha, cukup membuatmu bimbang. Karena Dhamma ini, Vaccha, adalah dalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan mulia, tidak dapat dicapai hanya dengan logika, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Adalah sulit bagimu untuk memahaminya jika engkau menganut pandangan lain, menerima ajaran lain, menyetujui ajaran lain, menekuni latihan yang berbeda, dan mengikuti guru yang berbeda. Aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai balasan, Vaccha. Jawablah sesuai dengan apa yang menurutmu benar.

19.“Bagaimana menurutmu, Vaccha? Misalkan terdapat api yang membakar di depanmu. Apakah engkau mengetahui: ‘Api ini membakar di depanku’?”

“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Bergantung pada apakah api yang membakar di depanmu ini?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

“Jika ditanya demikian, Guru Gotama, aku akan menjawab: ‘Api ini membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu.’”

“Jika api di depanmu itu padam, apakah engkau mengetahui: ‘Api di depanku ini telah padam’?”

“Aku mengetahuinya, Guru Gotama.”

“Jika seseorang bertanya kepadamu, Vaccha: ‘Ketika api di depanmu itu padam, ke arah manakah perginya: ke timur, ke barat, ke utara, atau ke selatan?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah engkau menjawab?”

“Itu tidak berlaku, Guru Gotama. Api itu membakar dengan bergantung pada bahan bakar rumput dan kayu. Ketika bahan bakar itu habis, jika tidak mendapatkan tambahan bahan bakar, karena tanpa bahan bakar, maka itu dikatakan sebagai padam.”

20.“Demikian pula, Vaccha, Sang Tathāgata telah meninggalkan bentuk materi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata, dapat menggambarkanNya; 5Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal bentuk materi, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudra. ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku;[488]‘Beliau muncul kembali dan juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan muncul kembali dan juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku. 6Sang Tathāgata telah meninggalkan perasaan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata, dapat menggambarkanNya … Sang Tathāgata telah meninggalkan persepsi yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata, dapat menggambarkanNya … Sang Tathāgata telah meninggalkan bentukan-bentukan yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata, dapat menggambarkanNya … Sang Tathāgata telah meninggalkan kesadaran yang dengannya seseorang yang menggambarkan Sang Tathāgata, dapat menggambarkanNya; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya menjadi seperti tunggul pohon palem, menyingkirkannya sehingga tidak mungkin muncul lagi di masa depan. Sang Tathāgata terbebaskan dari penganggapan dalam hal kesadaran, Vaccha, Beliau dalam, tidak terbatas, sulit diukur bagaikan samudra. ‘Beliau muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau tidak muncul kembali’ tidak berlaku;[488]‘Beliau muncul kembali dan juga tidak muncul kembali’ tidak berlaku; ‘Beliau bukan muncul kembali dan juga bukan tidak muncul kembali’ tidak berlaku.”

21.Ketika hal ini dikatakan, Pengembara Vacchagotta berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, misalkan terdapat sebatang pohon sāla besar tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman, dan ketidak-kekalan menggerus dahan dan dedaunannya, kulit kayu dan kayu lunaknya, sehingga kemudian, karena dahan dan dedaunannya berguguran, kulit kayu dan kayu lunaknya mengelupas, maka pohon itu menjadi murni, hanya terdiri dari inti kayunya saja; demikian pula, khotbah Guru Gotama ini tanpa dahan dan dedaunan, tanpa kulit kayu dan kayu lunak, dan murni terdiri dari hanya inti kayu saja.

22.“Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan[489]agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”

– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
Catatan Kaki

1.Pandangan bahwa jiwa (jiva) dan badan adalah sama merupakan pandangan materialisme, yang memperkecil jiwa ke dalam badan. Pandangan berikutnya bahwa jiwa dan badan adalah berbeda merupakan pandangan eternalis, yang menganggap jiwa sebagai suatu prinsip spiritual yang terus ada dengan tidak bergantung pada badan.

2.Pandangan bahwa Seorang Tathāgata ada setelah kematian adalah suatu bentuk eternalisme yang menganggap Sang Tathāgata, atau individu yang sempurna secara spiritual, sebagai memiliki diri yang mencapai kebebasan abadi setelah kematian jasmani. Pandangan bahwa seorang Tathāgata tidak ada setelah kematian juga menyiratkan Sang Tathāgata sebagai diri, tetapi menganut bahwa diri ini musnah pada saat kematian jasmani. Pandangan ke tiga mencoba menggabungkan kedua pandangan ini, yang ditolak oleh Sang Buddha karena kedua komponen itu melibatkan pandangan salah. Pandangan ke empat sepertinya merupakan suatu usaha skeptis untuk menolak kedua alternatif atau menghindari pendirian yang pasti.

3.Dalam Pali suatu permainan kata terlibat antaradiṭṭhigata, “pandangan spekulatif,” yang telah disingkirkan oleh Sang Tathāgata, dandiṭṭha, apa yang telah “terlihat” oleh Sang Tathāgata dengan pengetahuan langsung, yaitu, timbul dan tenggelamnya kelima kelompok unsur kehidupan.

4.MA mengatakan bahwa “tidak muncul kembali” sebenarnya berlaku, dalam makna bahwa Arahant tidak mengalami penjelmaan baru. Tetapi jika Vacchagotta mendengar hal ini maka ia akan salah memahaminya sebagai pandangan pemusnahan, dan karena itu Sang Buddha membantah bahwa itu berlaku dalam makna bahwa pandangan pemusnahan bukanlah posisi yang dapat dipertahankan.

5.MA mengatakan ini adalah bentuk materi yang dengannya seseorang dapat menggambarkan Sang Tathāgata sebagai makhluk (atau diri) yang memiliki bentuk materi. MṬ menambahkan bahwa bentuk materi telah ditinggalkan melalui ditinggalkannya belenggu-belenggu yang berhubungan dengannya, dan dengan demikian telah menjadi tidak dapat muncul lagi di masa depan.

6.

Paragraf ini harus dihubungkan dengan perumpamaan padamnya api. Seperti halnya padamnya api tidak dapat digambarkan sebagai pergi ke arah manapun, demikian pula Sang Tathāgata yang telah mencapai Nibbāna akhir tidak dapat digambarkan dalam hal empat alternatif. Perumpamaan itu hanya berkaitan dengan legitimasi penggunaan konseptual dan bahasa dan bukan dimaksudkan untuk menyiratkan, seperti yang dianut oleh beberapa terpelajar, bahwa Sang Tathāgata mencapai suatu absorpsi mistis dalam Kemutlakan. Kata-kata “dalam, tidak terbatas, sulit diukur” menunjukkan dimensi transenden dari pembebasan yang dicapai oleh Yang Sempurna, ketidak-terjangkauannya oleh pikiran yang berkeliaran.

Sepertinya bahwa pada titik ini dalam percakapan itu, Sang Buddha menggunakan perumpamaan untuk menyampaikan apa yang tidak dapat disampaikan oleh konsep-konsep. Kedua perumpamaan – padamnya api dan samudra dalam – dengan sendirinya membentuk ketegangan dialektika, dan dengan demikian keduanya harus diperhitungkan untuk menghindari pandangan-pandangan satu sisi. Perumpamaan padamnya api, secara berdiri sendiri, berbelok ke arah pemadaman total, dan dengan demikian harus diimbangi dengan perumpamaan samudra; Perumpamaan samudra, secara berdiri sendiri, menyiratkan beberapa modus penjelmaan abadi, dan dengan demikian harus diimbangi dengan perumpamaan padamnya api. Selanjutnya, kebenaran terletak di tengah-tengah yang melampaui kedua ekstrim yang tidak dapat dipertahankan.

Acelakassapa Sutta ~Petapa Telanjang Kassapa

Demikianlah yang kudengar. Suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. [19] Kemudian, pada pagi hari, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubah-Nya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Dari kejauhan Petapa Telanjang Kassapamelihat Sang Bhagavā. Setelah melihat Beliau, ia mendekati Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Setelah mengakhiri sapaan dan ucapan ramah-tamah, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Kami ingin bertanya kepada Guru Gotama mengenai hal tertentu, jika Beliau bersedia menjawab pertanyaan kami.”

“Ini bukan saat yang tepat untuk bertanya, Kassapa. Kami sedang memasuki rumah demi rumah.” [1]

Untuk ke dua dan ke tiga kalinya Petapa Telanjang Kassapa berkata kepada Sang Bhagavā: “Kami ingin bertanya kepada Guru Gotama mengenai hal tertentu, jika Beliau bersedia menjawab pertanyaan kami.”

“Ini bukan saat yang tepat untuk bertanya, Kassapa. Kami sedang memasuki rumah demi rumah.”

Kemudian Petapa Telanjang Kassapa berkata kepada Sang Bhagavā: “Kami tidak mengajukan banyak pertanyaan kepada Guru Gotama.”

“Kalau begitu tanyalah apa yang ingin engkau tanyakan, Kassapa.”

“Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah penderitaan yang dibuat oleh diri sendiri?”

“Tidak demikian, Kassapa” Sang Bhagavā berkata.

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah penderitaan dibuat oleh orang lain?”

“Tidak demikian, Kassapa” Sang Bhagavā berkata.

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah penderitaan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain?”

“Tidak demikian, Kassapa” Sang Bhagavā berkata. [20]

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah penderitaan muncul secara kebetulan dan tidak dibuat oleh diri sendiri atau orang lain?” [2]

“Tidak demikian, Kassapa” Sang Bhagavā berkata.

“Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah tidak ada penderitaan?”

“Bukan tidak ada penderitaan, Kassapa; ada penderitaan.”

“Kalau begitu apakah Guru Gotama tidak mengetahui dan melihat penderitaan?”

“Bukan Aku tidak mengetahui dan melihat penderitaan, Kassapa. Aku mengetahui penderitaan, Aku melihat penderitaan.”

“Ketika Engkau ditanya: ‘Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah penderitaan dibuat oleh diri sendiri?’ atau ‘Apakah dibuat oleh orang lain?’ atau ‘Apakah dibuat oleh keduanya?’ atau ‘Apakah dibuat oleh bukan keduanya?’ dalam setiap pertanyaan Engkau mengatakan: ‘Tidak demikian, Kassapa.’ Ketika Engkau ditanya: ‘Apakah tidak ada penderitaan?’ Engkau mengatakan: ‘Bukan tidak ada penderitaan, Kassapa; ada penderitaan.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu, Guru Gotama tidak mengetahui dan melihat penderitaan?” Engkau mengatakan: ‘Bukan Aku tidak mengetahui dan melihat penderitaan, Kassapa. Aku mengetahui penderitaan, Aku melihat penderitaan.’ Yang Mulia, mohon Bhagavā menjelaskan penderitaan kepadaku. Mohon Bhagavā mengajarkan aku mengenai penderitaan.” [3]

“Kassapa, [jika seseorang berpikir.] ‘Seorang yang melakukan adalah orang yang sama dengan yang mengalami [akibat],’ [maka ia yakin] sehubungan dengan keberadaannya sejak awal: ‘Penderitaan dibuat oleh dirinya sendiri.’ Ketika ia meyakini demikian, ini berarti eternalisme. [4]Tetapi, Kassapa, [jika seseorang berpikir,] ‘Yang melakukan adalah seseorang, yang mengalami [akibat] adalah orang lain,’ [maka ia yakin] sehubungan dengan seseorang yang didera oleh perasaan: ‘Penderitaan dibuat oleh orang lain. Ketika ia meyakini demikian, ini berarti nihilisme. [5]Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah: [6]‘Dengan kebodohan sebagai kondisi, bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran…. Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini. [21] Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran…. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, Petapa Telanjang Kassapa berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Yang Mulia! Menakjubkan, Yang Mulia! Dhamma telah dijelaskan dalam banyak cara oleh Sang Bhagavā, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Sang Bhagavā, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Saṅgha. Semoga aku menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, semoga aku menerima penahbisan yang lebih tinggi.” [7]

“Kassapa, seseorang yang sebelumnya berasal dari sekte lain yang ingin melepaskan keduniawian dan penahbisan yang lebih tinggi dalam Dhamma dan Disiplin ini menjalani masa percobaan selama empat bulan. Pada akhir dari empat bulan, jika para bhikkhu merasa puas terhadapnya, mereka boleh, jika menginginkan, memberikan penahbisan yang lebih tinggi menjadi seorang bhikkhu kepadanya. Namun Aku mengenali perbedaan individual.” [8]

“Jika, Yang Mulia, seseorang yang sebelumnya berasal dari sekte lain yang ingin melepaskan keduniawian dan penahbisan yang lebih tinggi dalam Dhamma dan Disiplin ini menjalani masa percobaan selama empat bulan. Pada akhir dari empat bulan, jika para bhikkhu merasa puas terhadapnya, mereka boleh, jika menginginkan, memberikan penahbisan yang lebih tinggi menjadi seorang bhikkhu kepadanya, maka aku bahkan bersedia menjalani masa percobaan selama empat tahun. Pada akhir dari empat tahun, jika para bhikkhu merasa puas terhadapku, mereka boleh, jika menginginkan, memberikan penahbisan yang lebih tinggi menjadi seorang bhikkhu kepadaku.”

Kemudian Petapa Telanjang Kassapa menerima pelepasan keduniawian dari Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan yang lebih tinggi. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Kassapa, [22] dengan mengalami oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, memasuki dan berdiam dalam tujuan hidup suci yang sempurna yang dicari oleh orang-orang baik yang meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia mengetahui secara langsung: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang telah dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.” Dan Yang Mulia Kassapa menjadi salah satu Arahanta.”

– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
Catatan Kaki

1. ↑Spk: Mengapakah Sang Bhagavā menolak tiga kali? Untuk memicu penghargaan; karena jika para teoris dijawab terlalu cepat mereka tidak akan menunjukkan penghargaan, tetapi mereka akan menghargai jika ditolak dua atau tiga kali. Kemudian mereka akan berkeinginan untuk mendengar dan mengembangkan keyakinan. Juga, Sang Guru menolak untuk menciptakan kesempatan bagi indria pengetahuan petapa itu menjadi matang.

2. ↑Dari empat alternatif, yang pertama dan ke dua, seperti yang akan diperlihatkan, berturut-turut adalah formula implisit bagi eternalisme dan nihilisme. Yang ketiga adalah solusi sinkretis, mungkin suatu bentuk eternalisme-sebagian (ekaccasassatavāda; baca DN I 17-21). Yang ke empat adalah doktrin asal-mula yang terjadi secara kebetulan (adhiccasamuppannavāda; baca DN I 28-29).

3. ↑Spk menunjukkan bahwa perubahan panggilan, dari panggilan akrabbho Gotamamenjadi panggilan hormatbhante bhagavā, menunjukkan bahwa ia telah memberikan penghargaan pada Sang Guru.

4. ↑Spk mengemasādito satosebagaiādimhi yeva, dan menjelaskannya sebagai bermakna “(jika) pada awalnya (seseorang berpikir)….“ Bagi saya sepertinya frasa ini mungkin adalah bagian dari pandangan eternalisme itu sendiri dan berarti “dari seseorang yang ada sejak awal,” yaitu, dari suatu makhluk yang selalu ada. Interpretasi ini membentuk dukungan dari fakta bahwa frasa ini dihilangkan persis di bawah dalam pernyataan yang bersesuaian yang diulang mengenai pandangan nihilisme, yang jika tidak demikian maka dibangun menurut logika yang sama dan dengan demikian, jika Spk benar, seharusnya memasukkan ādito sato. Spk mengatakan “itu harus dimasukkan,” tetapi fakta bahwa teks itu digantikan dengan frasa lain adalah bukti kuat bahwa itu memang tidak ada di sana; baca catatan kaki berikutnya.

Spk: Jika pada awalnya (seseorang berpikir), “Seorang yang melakukan adalah sama dengan orang yang mengalami (akibatnya),” dalam kasus demikian kepercayaan (laddhi) setelahnya mengikuti, “Penderitaan dibuat oleh diri sendiri.” Dan di sini, apa yang dimaksudkan dengan penderitaan adalah penderitaan atas lingkaran (vaṭṭadukkha). Menegaskan demikian, sejak awal seseorang menyatakan eternalisme, maka ia mencengkeram eternalisme. Mengapa? Karena pandangannya sama dengan pandangan ini. Eternalisme mendatangi seseorang yang memandang sebagai pelaku dan yang mengalami orang yang sama.

Spk-pṭ: Sebelum kepercayaan bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri terdapat distorsi persepsi dan pikiran (saññācittavipallāsā) dalam gagasan, “Seorang yang melakukan adalah sama dengan orang yang mengalami (akibatnya),” dan kemudian ketaatan salah pada distorsi ini berkembang, yaitu, kepercayaan “Penderitaan dibuat oleh diri sendiri” (suatu distorsi pandangan,diṭṭhivipallāsa).

Mengenai tiga tingkat distorsi dengan empat caranya, baca AN II 52.

5. ↑Dalam kalimat ini, frasaādito satoyang terdapat pada pernyataan eternalisme sebelumnya digantikan denganvedanābhiunnassa sato, yang membatalkan usulan Spk bahwaādito satoseharusnya dimasukkan di sini. Spk menginterpretasikan kalimat itu menyebutkan bahwa pandangan nihilisme dianut oleh seseorang yang mengalami perasaan yang disertai dengan pandangan itu, namun saya memahami intinya bahwa pandangan itu dianutsehubungan denganseseorang yang “didera oleh perasaan,” mungkin perasaan menyakitkan.

Spk: Jika pada awalnya (seseorang berpikir), “Seorang yang melakukan adalah satu hal, orang yang mengalami (akibatnya) adalah hal lainnya,” dalam kasus demikian setelahnya muncul kepercayaan, “penderitaan dibuat oleh orang lain,” dianut oleh seorang yang didera – yaitu, ditusuk oleh – perasaan yang disertai dengan pandangan nihilisme yang muncul sebagai berikut: “Pelaku dimusnahkan tepat di sini, dan seorang lainnya (‘yang lainnya’) mengalami (akibat) dari perbuatannya.” Menegaskan demikian, sejak awal seseorang menyatakan nihilisme, maka ia mencengkeram nihilisme. Mengapa? Karena pandangannya sama dengan pandangan ini. Nihilisme mendatanginya.

6. ↑Spk: Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah tanpa ber- belok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini – eternalisme dan nihilisme – setelah meninggalkannya tanpa syarat. Beliau mengajarkan selagi kokoh di jalan tengah. Apakah Dhamma itu? Melalui formula sebab-akibat yang saling bergantungan, akibat diperlihatkan muncul karena sebab dan lenyap dengan lenyap- nya sebab, tetapi tidak ada yang melakukan atau yang menga- lami (kāraka, vedaka) digambarkan.

7. ↑Meninggalkan keduniawian (pabbajjā) adalah penahbisan awal sebagai sāmaṇera, penahbisan lebih tinggi (upasampadā) men- erima sāmaṇera sebagai anggota penuh dalam Saṅgha sebagai bhikkhu.

8. ↑Penjelasan terperinci sehubungan dengan penahbisan dari se- orang pengembara yang sebelumnya berasal dari sekte lain, baca Vin I 69-71. Spk: Sang calon diberikan penahbisan awal dan hidup sebagai seorang sāmaṇera selama masa percobaan, set- elahnya para bhikkhu memberikan penahbisan yang lebih tinggi jika mereka puas dengannya. Akan tetapi, Sang Buddha, berhak melepaskan prosedur itu jika Beliau mengetahui bahwa sang calon cukup kompeten dan tidak perlu dicoba. Dalam kasus Kas- sapa, Beliau memberikan penahbisan awal; kemudian, segera setelahnya, Kassapa dipanggil dan Beliau mengumpulkan para bhikkhu dan memberikan penahbisan yang lebih tinggi.

9. ↑Baca SN 6.3 I, n. 1.

– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
©2012 Edisi DhammaCitta Pedia. Sumber: Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha, Terjemahan baru Saṃyutta Nikāya. ©2010 DhammaCitta Press.

Saran Penulisan Kutipan: “SN 12.17: Acelakassapa Sutta – Petapa Telanjang Kassapa” oleh Bhikkhu Bodhi. DhammaCitta Pedia, revisi 2/10/2012, // dhammacitta.org/dcpedia /SN_12.17:_Acelakassapa_Sutta