Acelakassapa Sutta ~Petapa Telanjang Kassapa

Demikianlah yang kudengar. Suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. [19] Kemudian, pada pagi hari, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubah-Nya, memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Dari kejauhan Petapa Telanjang Kassapamelihat Sang Bhagavā. Setelah melihat Beliau, ia mendekati Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Setelah mengakhiri sapaan dan ucapan ramah-tamah, ia berdiri di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Kami ingin bertanya kepada Guru Gotama mengenai hal tertentu, jika Beliau bersedia menjawab pertanyaan kami.”

“Ini bukan saat yang tepat untuk bertanya, Kassapa. Kami sedang memasuki rumah demi rumah.” [1]

Untuk ke dua dan ke tiga kalinya Petapa Telanjang Kassapa berkata kepada Sang Bhagavā: “Kami ingin bertanya kepada Guru Gotama mengenai hal tertentu, jika Beliau bersedia menjawab pertanyaan kami.”

“Ini bukan saat yang tepat untuk bertanya, Kassapa. Kami sedang memasuki rumah demi rumah.”

Kemudian Petapa Telanjang Kassapa berkata kepada Sang Bhagavā: “Kami tidak mengajukan banyak pertanyaan kepada Guru Gotama.”

“Kalau begitu tanyalah apa yang ingin engkau tanyakan, Kassapa.”

“Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah penderitaan yang dibuat oleh diri sendiri?”

“Tidak demikian, Kassapa” Sang Bhagavā berkata.

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah penderitaan dibuat oleh orang lain?”

“Tidak demikian, Kassapa” Sang Bhagavā berkata.

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah penderitaan dibuat oleh diri sendiri dan orang lain?”

“Tidak demikian, Kassapa” Sang Bhagavā berkata. [20]

“Kalau begitu, Guru Gotama, apakah penderitaan muncul secara kebetulan dan tidak dibuat oleh diri sendiri atau orang lain?” [2]

“Tidak demikian, Kassapa” Sang Bhagavā berkata.

“Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah tidak ada penderitaan?”

“Bukan tidak ada penderitaan, Kassapa; ada penderitaan.”

“Kalau begitu apakah Guru Gotama tidak mengetahui dan melihat penderitaan?”

“Bukan Aku tidak mengetahui dan melihat penderitaan, Kassapa. Aku mengetahui penderitaan, Aku melihat penderitaan.”

“Ketika Engkau ditanya: ‘Bagaimanakah, Guru Gotama, apakah penderitaan dibuat oleh diri sendiri?’ atau ‘Apakah dibuat oleh orang lain?’ atau ‘Apakah dibuat oleh keduanya?’ atau ‘Apakah dibuat oleh bukan keduanya?’ dalam setiap pertanyaan Engkau mengatakan: ‘Tidak demikian, Kassapa.’ Ketika Engkau ditanya: ‘Apakah tidak ada penderitaan?’ Engkau mengatakan: ‘Bukan tidak ada penderitaan, Kassapa; ada penderitaan.’ Ketika ditanya: ‘Kalau begitu, Guru Gotama tidak mengetahui dan melihat penderitaan?” Engkau mengatakan: ‘Bukan Aku tidak mengetahui dan melihat penderitaan, Kassapa. Aku mengetahui penderitaan, Aku melihat penderitaan.’ Yang Mulia, mohon Bhagavā menjelaskan penderitaan kepadaku. Mohon Bhagavā mengajarkan aku mengenai penderitaan.” [3]

“Kassapa, [jika seseorang berpikir.] ‘Seorang yang melakukan adalah orang yang sama dengan yang mengalami [akibat],’ [maka ia yakin] sehubungan dengan keberadaannya sejak awal: ‘Penderitaan dibuat oleh dirinya sendiri.’ Ketika ia meyakini demikian, ini berarti eternalisme. [4]Tetapi, Kassapa, [jika seseorang berpikir,] ‘Yang melakukan adalah seseorang, yang mengalami [akibat] adalah orang lain,’ [maka ia yakin] sehubungan dengan seseorang yang didera oleh perasaan: ‘Penderitaan dibuat oleh orang lain. Ketika ia meyakini demikian, ini berarti nihilisme. [5]Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah: [6]‘Dengan kebodohan sebagai kondisi, bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran…. Demikianlah asal-mula dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini. [21] Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan kehendak; dengan lenyapnya bentukan-bentukan kehendak, maka lenyap pula kesadaran…. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Ketika hal ini dikatakan, Petapa Telanjang Kassapa berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Yang Mulia! Menakjubkan, Yang Mulia! Dhamma telah dijelaskan dalam banyak cara oleh Sang Bhagavā, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Sang Bhagavā, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Saṅgha. Semoga aku menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, semoga aku menerima penahbisan yang lebih tinggi.” [7]

“Kassapa, seseorang yang sebelumnya berasal dari sekte lain yang ingin melepaskan keduniawian dan penahbisan yang lebih tinggi dalam Dhamma dan Disiplin ini menjalani masa percobaan selama empat bulan. Pada akhir dari empat bulan, jika para bhikkhu merasa puas terhadapnya, mereka boleh, jika menginginkan, memberikan penahbisan yang lebih tinggi menjadi seorang bhikkhu kepadanya. Namun Aku mengenali perbedaan individual.” [8]

“Jika, Yang Mulia, seseorang yang sebelumnya berasal dari sekte lain yang ingin melepaskan keduniawian dan penahbisan yang lebih tinggi dalam Dhamma dan Disiplin ini menjalani masa percobaan selama empat bulan. Pada akhir dari empat bulan, jika para bhikkhu merasa puas terhadapnya, mereka boleh, jika menginginkan, memberikan penahbisan yang lebih tinggi menjadi seorang bhikkhu kepadanya, maka aku bahkan bersedia menjalani masa percobaan selama empat tahun. Pada akhir dari empat tahun, jika para bhikkhu merasa puas terhadapku, mereka boleh, jika menginginkan, memberikan penahbisan yang lebih tinggi menjadi seorang bhikkhu kepadaku.”

Kemudian Petapa Telanjang Kassapa menerima pelepasan keduniawian dari Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan yang lebih tinggi. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan teguh, Yang Mulia Kassapa, [22] dengan mengalami oleh dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, memasuki dan berdiam dalam tujuan hidup suci yang sempurna yang dicari oleh orang-orang baik yang meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ia mengetahui secara langsung: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang telah dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi bagi kondisi makhluk ini.” Dan Yang Mulia Kassapa menjadi salah satu Arahanta.”

– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
Catatan Kaki

1. ↑Spk: Mengapakah Sang Bhagavā menolak tiga kali? Untuk memicu penghargaan; karena jika para teoris dijawab terlalu cepat mereka tidak akan menunjukkan penghargaan, tetapi mereka akan menghargai jika ditolak dua atau tiga kali. Kemudian mereka akan berkeinginan untuk mendengar dan mengembangkan keyakinan. Juga, Sang Guru menolak untuk menciptakan kesempatan bagi indria pengetahuan petapa itu menjadi matang.

2. ↑Dari empat alternatif, yang pertama dan ke dua, seperti yang akan diperlihatkan, berturut-turut adalah formula implisit bagi eternalisme dan nihilisme. Yang ketiga adalah solusi sinkretis, mungkin suatu bentuk eternalisme-sebagian (ekaccasassatavāda; baca DN I 17-21). Yang ke empat adalah doktrin asal-mula yang terjadi secara kebetulan (adhiccasamuppannavāda; baca DN I 28-29).

3. ↑Spk menunjukkan bahwa perubahan panggilan, dari panggilan akrabbho Gotamamenjadi panggilan hormatbhante bhagavā, menunjukkan bahwa ia telah memberikan penghargaan pada Sang Guru.

4. ↑Spk mengemasādito satosebagaiādimhi yeva, dan menjelaskannya sebagai bermakna “(jika) pada awalnya (seseorang berpikir)….“ Bagi saya sepertinya frasa ini mungkin adalah bagian dari pandangan eternalisme itu sendiri dan berarti “dari seseorang yang ada sejak awal,” yaitu, dari suatu makhluk yang selalu ada. Interpretasi ini membentuk dukungan dari fakta bahwa frasa ini dihilangkan persis di bawah dalam pernyataan yang bersesuaian yang diulang mengenai pandangan nihilisme, yang jika tidak demikian maka dibangun menurut logika yang sama dan dengan demikian, jika Spk benar, seharusnya memasukkan ādito sato. Spk mengatakan “itu harus dimasukkan,” tetapi fakta bahwa teks itu digantikan dengan frasa lain adalah bukti kuat bahwa itu memang tidak ada di sana; baca catatan kaki berikutnya.

Spk: Jika pada awalnya (seseorang berpikir), “Seorang yang melakukan adalah sama dengan orang yang mengalami (akibatnya),” dalam kasus demikian kepercayaan (laddhi) setelahnya mengikuti, “Penderitaan dibuat oleh diri sendiri.” Dan di sini, apa yang dimaksudkan dengan penderitaan adalah penderitaan atas lingkaran (vaṭṭadukkha). Menegaskan demikian, sejak awal seseorang menyatakan eternalisme, maka ia mencengkeram eternalisme. Mengapa? Karena pandangannya sama dengan pandangan ini. Eternalisme mendatangi seseorang yang memandang sebagai pelaku dan yang mengalami orang yang sama.

Spk-pṭ: Sebelum kepercayaan bahwa penderitaan dibuat oleh diri sendiri terdapat distorsi persepsi dan pikiran (saññācittavipallāsā) dalam gagasan, “Seorang yang melakukan adalah sama dengan orang yang mengalami (akibatnya),” dan kemudian ketaatan salah pada distorsi ini berkembang, yaitu, kepercayaan “Penderitaan dibuat oleh diri sendiri” (suatu distorsi pandangan,diṭṭhivipallāsa).

Mengenai tiga tingkat distorsi dengan empat caranya, baca AN II 52.

5. ↑Dalam kalimat ini, frasaādito satoyang terdapat pada pernyataan eternalisme sebelumnya digantikan denganvedanābhiunnassa sato, yang membatalkan usulan Spk bahwaādito satoseharusnya dimasukkan di sini. Spk menginterpretasikan kalimat itu menyebutkan bahwa pandangan nihilisme dianut oleh seseorang yang mengalami perasaan yang disertai dengan pandangan itu, namun saya memahami intinya bahwa pandangan itu dianutsehubungan denganseseorang yang “didera oleh perasaan,” mungkin perasaan menyakitkan.

Spk: Jika pada awalnya (seseorang berpikir), “Seorang yang melakukan adalah satu hal, orang yang mengalami (akibatnya) adalah hal lainnya,” dalam kasus demikian setelahnya muncul kepercayaan, “penderitaan dibuat oleh orang lain,” dianut oleh seorang yang didera – yaitu, ditusuk oleh – perasaan yang disertai dengan pandangan nihilisme yang muncul sebagai berikut: “Pelaku dimusnahkan tepat di sini, dan seorang lainnya (‘yang lainnya’) mengalami (akibat) dari perbuatannya.” Menegaskan demikian, sejak awal seseorang menyatakan nihilisme, maka ia mencengkeram nihilisme. Mengapa? Karena pandangannya sama dengan pandangan ini. Nihilisme mendatanginya.

6. ↑Spk: Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah tanpa ber- belok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini – eternalisme dan nihilisme – setelah meninggalkannya tanpa syarat. Beliau mengajarkan selagi kokoh di jalan tengah. Apakah Dhamma itu? Melalui formula sebab-akibat yang saling bergantungan, akibat diperlihatkan muncul karena sebab dan lenyap dengan lenyap- nya sebab, tetapi tidak ada yang melakukan atau yang menga- lami (kāraka, vedaka) digambarkan.

7. ↑Meninggalkan keduniawian (pabbajjā) adalah penahbisan awal sebagai sāmaṇera, penahbisan lebih tinggi (upasampadā) men- erima sāmaṇera sebagai anggota penuh dalam Saṅgha sebagai bhikkhu.

8. ↑Penjelasan terperinci sehubungan dengan penahbisan dari se- orang pengembara yang sebelumnya berasal dari sekte lain, baca Vin I 69-71. Spk: Sang calon diberikan penahbisan awal dan hidup sebagai seorang sāmaṇera selama masa percobaan, set- elahnya para bhikkhu memberikan penahbisan yang lebih tinggi jika mereka puas dengannya. Akan tetapi, Sang Buddha, berhak melepaskan prosedur itu jika Beliau mengetahui bahwa sang calon cukup kompeten dan tidak perlu dicoba. Dalam kasus Kas- sapa, Beliau memberikan penahbisan awal; kemudian, segera setelahnya, Kassapa dipanggil dan Beliau mengumpulkan para bhikkhu dan memberikan penahbisan yang lebih tinggi.

9. ↑Baca SN 6.3 I, n. 1.

– – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – – –
©2012 Edisi DhammaCitta Pedia. Sumber: Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Buddha, Terjemahan baru Saṃyutta Nikāya. ©2010 DhammaCitta Press.

Saran Penulisan Kutipan: “SN 12.17: Acelakassapa Sutta – Petapa Telanjang Kassapa” oleh Bhikkhu Bodhi. DhammaCitta Pedia, revisi 2/10/2012, // dhammacitta.org/dcpedia /SN_12.17:_Acelakassapa_Sutta